
Kurma, nilai spiritual dan potensi ekonomi
Repost - antaranews.com
Kuntoro Boga Kepala PSI Perkebunan, Kementan
Jakarta (ANTARA) - "Apabila salah seorang dari kalian berbuka puasa, hendaknya ia berbuka dengan kurma. Jika tidak ada kurma, maka hendaknya ia berbuka dengan air, karena air itu suci." (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi membatalkan puasanya dengan kurma atau air putih. Umat Islam di seluruh dunia pun melanjutkan praktik ini hingga sekarang.
Kajian ilmiah membuktikan bahwa kurma memiliki banyak manfaat kesehatan. Kandungan nutrisinya yang melimpah, seperti karbohidrat, protein, vitamin B kompleks, serta mineral seperti zat besi, kalsium, dan magnesium, menjadikannya sumber energi alami yang sangat baik. Selain itu, kandungan serat yang tinggi dalam kurma membantu melancarkan pencernaan dan menjaga kesehatan usus.
Di Indonesia, negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, konsumsi kurma meningkat drastis pada bulan puasa, meskipun sesungguhnya buah ini tersedia sepanjang tahun.
Penjualan kurma dapat meningkat hingga sekitar 50% pada awal bulan Ramadhan dibandingkan hari biasa. Di luar bulan puasa, kurma tetap dikonsumsi meski tidak seintensif saat Ramadhan, umumnya sebagai camilan sehat atau pemanis alami.
Kurma juga lekat dengan tradisi oleh-oleh dari Tanah Suci. Para jamaah haji maupun umrah dari Indonesia hampir selalu membawa pulang kurma sebagai buah tangan sepulangnya dari ibadah tersebut.
Tradisi kuliner kurma diperkirakan masuk ke Nusantara sejak ratusan tahun lalu seiring jalur perdagangan Asia–Afrika dan penyebaran Islam. Salah satu sumber menyebut bahwa pedagang dari Mesirlah yang pertama kali membawa kurma ke Indonesia.
Potensi ekonomi menjanjikan
Peluang untuk mengembangkan komoditas kurma (Phoenix dactylifera) di Indonesia semakin mendapat perhatian seiring dengan tingginya permintaan buah kurma. Selama ini, Indonesia mengimpor kurma dalam jumlah besar.
Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor sekitar 55,43 ribu ton kurma sepanjang tahun 2024, dengan nilai mencapai 79,74 juta dolar AS (setara Rp1,32 triliun). Tren impor kurma di Indonesia meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir, dengan rekor tertinggi pada 2022, saat impor mencapai 61,35 ribu ton dengan nilai 86,25 juta dolar AS (setara Rp1,43 triliun).
Nilai impor kurma pun meningkat signifikan menjelang bulan Ramadhan; misalnya, pada Januari 2025 (menjelang Ramadhan), impor kurma Indonesia mencapai 16,43 ribu ton dengan nilai 20,68 juta dolar AS (setara Rp343,23 miliar).
Data ini menunjukkan bahwa permintaan kurma di Indonesia masih sangat besar, terutama menjelang bulan Ramadan, dengan tren impor yang tetap stabil di kisaran puluhan ribu ton setiap tahunnya. Kondisi ini menunjukkan peluang besar untuk mengembangkan budidaya kurma lokal guna memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Pemasok utama kurma impor Indonesia antara lain Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi. Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO) 2022, Indonesia merupakan importir kurma terbesar ketujuh di dunia.
Secara umum, iklim tropis Indonesia mendukung pertumbuhan pohon kurma. Wilayah Indonesia mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun, memungkinkan kurma tumbuh di berbagai daerah yang mendapatkan panas matahari cukup. Meskipun kurma identik dengan daerah gurun beriklim kering, beberapa wilayah di Indonesia memiliki kondisi mikroklimat yang mirip dengan habitat aslinya.
Provinsi Riau, misalnya, memiliki iklim panas yang menyerupai negara asal kurma. Pohon kurma telah ditanam di Pekanbaru sejak 2006, dan menunjukkan pertumbuhan yang baik.
Wilayah lain yang terbukti potensial adalah Lombok Utara (NTB). Tanah berpasir di Lombok Utara, hasil dari erupsi vulkanik Gunung Samalas, mengandung unsur hara mirip dengan tanah Timur Tengah. Kombinasi pola suhu harian yang panas di siang hari dan dingin di malam hari serta curah hujan yang rendah menjadikan wilayah ini ideal untuk budidaya kurma. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan varietas lokal Kurma Datu, yang mampu berbuah lebat sepanjang tahun tanpa mengenal musim.
Namun, tidak semua daerah memiliki kondisi ideal tersebut. Tantangan utama budidaya kurma di Indonesia adalah kelembapan tinggi dan curah hujan yang berbeda dengan habitat aslinya. Kelembapan tinggi dapat menyebabkan buah mudah membusuk jika dibiarkan terlalu lama di pohon.
Oleh karena itu, daerah dengan musim kemarau panjang atau tanah berpasir cenderung lebih cocok. Meski demikian, pengalaman menunjukkan bahwa kurma dapat tumbuh di berbagai kondisi, mulai dari dataran rendah panas hingga dataran tinggi beriklim sejuk, asalkan mendapatkan sinar matahari penuh dan dikelola dengan teknik budidaya yang tepat.
Pemerintah Indonesia telah mulai mendukung pengembangan kurma. Sejak 2006, tanaman kurma telah dimasukkan sebagai salah satu komoditas binaan Ditjen Hortikultura. Hal ini tertuang dalam Permentan No. 151/Kpts/PD.310/9/2006, yang memasukkan kurma sebagai komoditas hortikultura yang dikembangkan pemerintah.
Selain dukungan regulasi, telah muncul asosiasi petani kurma, seperti Perkumpulan Penggiat Kurma Indonesia yang dibentuk sejak 2016 untuk memfasilitasi kerja sama dan pertukaran informasi di kalangan petani kurma.
Harga jual kurma segar hasil budidaya lokal pun cukup tinggi. Sebagai gambaran, kurma segar jenis ruthob (kurma basah matang) di Lombok Utara dihargai sekitar Rp250 ribu hingga Rp360 ribu per kg. Dengan produktivitas yang tepat, potensi pendapatan per pohon bisa besar. Misalnya, satu pohon kurma betina dewasa di iklim tropis dapat menghasilkan 100–300 kg buah per tahun. Jika dijual seharga Rp100 ribu/kg, satu pohon dapat menghasilkan pendapatan Rp 10juta–30 juta per tahun. Bahkan, varietas unggul seperti Barhee yang dijual dengan kemasan premium bisa bernilai lebih tinggi.
Teknologi budidaya di Indonesia
Budidaya kurma di Indonesia berkembang pesat berkat dukungan lembaga penelitian, pemerintah, dan komunitas petani. Lembaga seperti Balai Pengujian Standar Instrumen Tanaman Palma (dulu bernama Balit Palma), Kementerian Pertanian, memainkan peran penting dalam pengembangan standar dan teknologi budidaya kurma. Pemerintah daerah, seperti di NTB, juga aktif mendukung perkebunan kurma, melihat potensi ekonominya yang besar.
Sampai tahun 2025, BSIP Tanaman Palma telah mengoleksi tujuh varietas unggul kurma introduksi, yakni Ajwa, Barhee, Medjol, Fard, Khalas, Ghanami, dan Rashis. Evaluasi juga telah dilakukan pada karakter vegetatif tanaman.
Pada kurma varietas Ajwa dan Sukari, diperoleh hasil kedua varietas tersebut memiliki daya kecambah mencapai 97- 98 persen. Rekomendasi pemupukan juga terus dilakukan untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif (pembungaan dan pembuahan) pada lahan kering beriklim basah di Indonesia. BSIP Palma juga terus melakukan pendampingan dan konsultasi pengembangan kurma di beberapa daerah di Indonesia.
Sumber bibit kurma dapat berasal dari biji, anakan (offshoot), atau kultur jaringan. Meskipun bibit dari biji lebih murah, jenis kelamin pohon tidak bisa ditentukan sebelum dewasa. Bibit anakan lebih menjamin hasil yang sama dengan induknya, tetapi jumlahnya terbatas. Sementara itu, teknologi kultur jaringan menghasilkan bibit unggul dengan kepastian varietas dan jenis kelamin, namun harganya masih relatif mahal.
Untuk teknik penanaman, tanah yang gembur dan berpasir lebih disukai kurma. Jarak tanam yang umum digunakan berkisar antara 6×6 m hingga 8×8 meter per pohon untuk memberi ruang optimal bagi pertumbuhan. Beberapa petani juga mencoba menanam kurma dalam pot besar (tabulampot), meskipun produksi optimal tetap diperoleh jika ditanam di lahan terbuka.
Pemeliharaan kurma mencakup pemupukan rutin, pengairan yang disesuaikan dengan musim, serta perlindungan dari hama dan penyakit. Pemupukan NPK secara berkala dan penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan hasil panen. Pengairan diperlukan terutama pada fase awal pertumbuhan, sementara sistem drainase yang baik harus diperhatikan saat musim hujan.
Penyerbukan manual diperlukan untuk memastikan produksi buah, mengingat kurma merupakan tanaman berumah dua. Biasanya, perbandingan jantan:betina yang disarankan adalah sekitar 1:10 atau 1:20. Panen kurma di Indonesia umumnya dilakukan pada tahap ruthob (sekitar 150 hari setelah penyerbukan) karena tingkat kelembapan tinggi tidak memungkinkan kurma mengering secara alami di pohon.
Salah satu kisah sukses datang dari Iwan Tarigan di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berhasil membudidayakan kurma di dataran tinggi dengan suhu sejuk sekitar 17°C. Keberhasilannya membantah anggapan bahwa kurma hanya bisa tumbuh di daerah panas dan kering. Dengan teknik perawatan khusus dan pemilihan varietas yang tepat, Iwan Tarigan mampu membuat pohon kurmanya berbuah, membuka peluang baru bagi petani di wilayah beriklim sejuk.
Di Lombok Utara, NTB, Perkebunan “Kurma Datu” menjadi contoh sukses lainnya dengan lebih dari 1.000 pohon kurma yang ditanam di kawasan tersebut. Keunggulan utama dari perkebunan ini adalah varietas Kurma Datu, yang mampu berbuah sepanjang tahun, menjadikannya salah satu perkebunan kurma produktif di Indonesia.
Sementara itu, di Pasuruan, Jawa Timur, Agrowisata Kebun Kurma telah berhasil mengubah lahan kering seluas 3,7 hektare menjadi kebun kurma yang tidak hanya menghasilkan buah tetapi juga menarik wisatawan.
Di Aceh Besar, Perkebunan Kurma Lembah Barbate telah berkembang menjadi salah satu kebun kurma terbesar di Indonesia, dengan luas mencapai 300 hektare sejak 2017. Dengan skala yang besar, perkebunan ini tidak hanya berfokus pada produksi buah, tetapi juga pengembangan bibit unggul untuk mendukung pertumbuhan industri kurma di tanah air.
Keberhasilan berbagai perkebunan kurma di Indonesia menunjukkan bahwa dengan inovasi, adaptasi, dan teknik pertanian yang tepat, tanaman yang sebelumnya dianggap sulit dibudidayakan di Indonesia itu dapat tumbuh subur dan menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.